![]() |
Charis Rachmawati, S.S Guru SMPIT Ulil Albab Batam |
Potensi
etika fikir adalah sudut pandang atau cara melihat suatu permasalahan
dengan positif. Ia buah yang tumbuh dari analisa mendalam. Pada guru, dia akan
berfikir tindakan apa yang bisa membuahkan nilai plus, bukan hanya dia sebagai
seorang guru saja, namun nilai plus dari statusnya sebagai manusia. Potensi ini
adalah awal dari sebuah prinsip. Potensi yang positif akan membuahkan pola
pikir yang baik, potensi pikir yang negatif akan membuahkan pola pikir yang buruk.
Hal inilah yang menjadi langkah awal pada setiap keputusan yang diambil
manusia, baik atau buruk, berkualitas atau hampa, prestasi atau gagal.
Potensi etika pikir pada guru,
membuahkan pertimbangan matang untuk melahirkan apa saja hal yang harus
dilakukannya, membuahkan hal apa saja yang harus dilisankannya, serta pola
pikir siapa saja yang akan melihat perbuatannya. Hal ini sangat penting, karena
dasar prinsip akan melahirkan keteladanan yang berasal dari diri seorang guru
terhadap muridnya.
Potensi etika pikir pada murid, membuahkan analisa tajam terhadap apa yang
dipandangnya. Menghasilkan cara pandang dari pikir yang tajam, memiliki sudut
pandang positif atau negatif. Objektifitas masa-masa muda sangatlah labil,
terombang-ambing mencari arah untuk berlabuh. Sudut pandang itu memerlukan
keteladanan, manusia yang paling dekat dengan murid adalah guru. Sosok guru
adalah sosok yang setiap hari ia jumpai, bukan hanya pelajaran saja yang ia
serap, melainkan sudut pandang pribadi untuk menumbuhkan sebuah prinsip pada
diri seorang murid.
Terbanglah pada dua puluh
tahun silam, atau bahkan lebih pada garis usia kita. Tengoklah mana pelajaran
SMP yang kita sukai, semua akan mengatakan, pelajaran yang disukai adalah: Matematika,
Bahasa Inggris, Menggambar, atau lainnya. Pertanyaan berikutnya, mengapa
suka? Pelajarannya memang agak sulit
tapi suka gurunya. Kenapa suka gurunya? Karena Bapak itu…atau Ibu itu…. Baik,
ramah, murah senyum, sederhana, punya rumah bagus tapi kalau pergi sekolah
selalu naik angkot, dan masih banyak hal lagi yang mampu menggambarkan betapa
sudut pandang kita positif terhadap guru kita. Tetapi tak sedikit pula kita
mengingat pelajaran yang tidak disukai, sebenarnya mudah namun gurunya galak
atau killer, jadi karena sudah tidak
senang dengan gurunya maka sulit menerima pelajaran dengan mudah. Bukankah kita
pernah berpikir seperti itu?
Sebuah prinsip hidup yang
kita serap secara tidak langsung dari Bapak Ibu guru kita, mampu melekat pada
pribadi-pribadi kita hingga sekarang. Dan kita sudah tidak ingat lagi pelajaran
apa yang diajarkan guru kita saat itu, namun sikap dan karakter guru kitalah
yang masih kita ingat sampai sekarang. Hanyalah prinsip yang menjadi warisan
untuk kita dan anak didik kita. Melalui guru, keteladan itu tertular dengan
sendirinya.
Potensi etika lisan, tak jarang lisan mampu tajam melebihi pedang,
mampu menyakiti dan membekas hingga waktu yang lama. Lisan guru adalah
penyampai ilmu dari sekian tahun lebih dulu memahami pelajaran melalui mata
kuliah di kampus. Dari lisan inilah ilmu terurai untuk membentuk karakter serta
pembentukan keilmuan pada diri murid. Lisan yang lembut akan menghasilkan hati
yang lembut, namun lisan yang kasar dan kotor akan membentuk hati yang keras.
Potensi etika lisan pada
sosok guru adalah kunci murid merasa dihargai. Jika etika lisan tidak
dijalankan, guru akan terbiasa bersuara keras, kasar, dan terkesan galak.
Perkataan semacam ini akan melukai perasaan murid sehingga mereka tidak mampu
lagi menahan emosi, hal ini akan berdampak pada sikap mereka terhadap guru.
Mulai dari lisanlah hubungan antara guru dengan murid akan terbangun dengan
baik.
Potensi etika lisan murid
adalah salah satu parameter karakter terdidik. Murid yang mampu mengungkapkan
keinginan dan perasaannya dengan kata-kata yang tertata baik dan dibarengi oleh
tutur kata yang sopan, menandakan bahwa murid tersebut memiliki etika lisan dan
penghormatan kepada orang lain dengan baik. Hal ini bisa dimiliki oleh seorang
murid, salah satu faktornya karena murid memiliki teladan. Keteladanan itu bisa
diperoleh dari orang tua, orang sekitar, dan guru.
Maka perlu disadari bahwa
murid menjadi baik bukan hanya karena guru saja, melainkan karena banyak faktor
disekelilingnya, dan orang tua adalah sekolah pertama untuk menanamkan
nilai-nilai baik pada sosok seorang anak. Mendidik murid melalui lisan bukan
hanya sekedar mengajarkan kepada mereka sebuah etika lisan atau berbicara saja,
namun juga sebuah proses belajar yang menumbuhkan kecerdasan sosial murid.
Dengan memiliki kata yang cocok dan sesuai konteks situasi serta mampu melihat
siapa lawan bicara, maka murid akan mengolahnya dalam otak dikepalanya, dan dia
akan berani mengatakan sesuatu yang dirasa sesuai, dan orang lain tidak akan
tersinggung dengan ucapannya.
Mampu menempatkan diri
pada situasi yang tepat dan dengan lawan bicara adalah sebuah cermin kecerdasan
sosial. Etika lisan pada guru akan mampu mengantarkan ilmu kepada murid melalui kata-kata santun
dan sayang. Kata-kata yang tidak hanya lahir dari hasil olahan otak semata
melainkan juga dari hati sang guru. Lisan yang mencerminkan kata santun dan
sayang sudah sewajarnya diterima oleh murid yang pintar dan baik, dan sangat
luar biasa jika kata-kata sayang banyak terurai untuk anak-anak yang terkesan
nakal. Kata-kata ini merupakan wujud perhatian guru, yang penuh harapan agar
murid-muridnya menjadi lebih baik. Semakin anak nakal, maka semakin banyaklah
sayang dan cinta guru kepada muridnya. Namun satu hal, ketika guru berbicara
dengan nada tinggi, hal itu bukan berarti kebencian atau rasa tidak suka kepada
murid. Adakalanya murid memang harus diberi sebuah pengingatan dengan sebuah rekayasa intonasi,
agar menyadarkan mereka bahwa kehidupan mendatang lebih keras dari saat ini.
Potensi etika laku, potensi ini adalah potensi hasil gabungan
antara etika pikir dan etika lisan. Etika laku adalah hal yang terlihat dengan
nyata, sebuah sikap yang lahir dari hasil olahan otak dan digabungkan dengan
etika lisan yang telah difahami. Potensi etika laku seorang guru adalah hal yang
nyata, yang selalu dilihat bahkan ditiru oleh murid. Mulai cara bicara, bahkan
sampai berapa kali kata yang sama diulang dalam mengajar, murid pun akan
menghitungnya. Cara berjalan, murid akan menirukan cara guru favoritnya
berjalan juga guru yang tidak disukainya. Cara guru marah, pada suatu saat itu
sekadar menjadi kelakar mereka atau bahkan sebuah contoh ekspresi marah dalam
dirinya. Hal yang biasa dilakukan guru akan ditiru oleh murid dengan
sendirinya. Etika laku murid sebanding dengan tingkah laku guru, semua saling
berhubungan, tidak ada yang berdiri sendiri. Hal baik dalam diri guru sangat
bagus untuk ditiru murid, hal ini menunjukkan betapa guru tersebut sangat
mempengaruhi karakter murid. Namun tak jarang pula, etika guru yang kurang baik
menjadi legalitas murid untuk berbuat tidak benar. Hal ini dikarenakan murid
mampu membaca, menilai, dan memutuskan, walaupun belum matang dalam berfikir.
Kesadaran akan posisinya
dimata murid menjadikan sosok guru harus sentiasa menjaga tingkah lakunya,
karena apapun yang akan dilakukannya sangat terlihat jelas oleh mata murid. Tingkah
laku ini sebaiknya lahir dari karakter dasar, bukan hasil kepura-puraan.
Tingkah laku yang lahir karena sebuah kesadaran dan pemahaman yang baik akan
mudah menular pada orang disekitar, karena didasari dari ketulusan hati, namun
berbeda jika tingkah laku lahir dari kepura-puraan, memang terlihat baik, namun
suatu saat jika tidak terkendali akan menurunkan harga diri kita sendiri.
Tiga hal di atas adalah
hubungan timbal balik antara guru dan murid, keduanya memiliki kebermanfaatan
dalam tiga hal tersebut. Murid dapat mendapatkan contoh prinsip dari guru, dan
guru selalu memotivasi diri karena potensi dalam dirinya sentiasa dilihat dan
ditiru oleh murid. Maka dari uraian di atas, semoga harapan Bangsa Indonesia
untuk memiliki generasi-generasi yang berkarakter baik, potensial, dan generasi
yang memiliki kecerdasan dapat segera terwujud dengan menyeluruh.Ditulis
oleh: Charis Rachmawati, S.S