Rabu, 25 Juni 2014

Simbiosis Mutualisme Potensi Etika Guru dan Siswa


Charis Rachmawati, S.S
Guru SMPIT Ulil Albab Batam
Harga diri seseorang bukan terletak pada statusnya, melainkan pada potensi etika lisan, potensi etika laku, dan potensi etika fikir. Harga diri yang lahir karena status, melahirkan kepura-puraan, sedangkan penghargaan yang berasal dari penilaian etika yang positif, akan melahirkan sebuah kepercayaan, penanaman prinsip, dan keakraban yang tulus. Begitupun antara guru dan murid, akan terjalin hubungan yang memiliki dasar yang kuat, bukan sekadar status “guru” dan “murid”.
 Potensi etika fikir adalah sudut pandang atau cara melihat suatu permasalahan dengan positif. Ia buah yang tumbuh dari analisa mendalam. Pada guru, dia akan berfikir tindakan apa yang bisa membuahkan nilai plus, bukan hanya dia sebagai seorang guru saja, namun nilai plus dari statusnya sebagai manusia. Potensi ini adalah awal dari sebuah prinsip. Potensi yang positif akan membuahkan pola pikir yang baik, potensi pikir yang negatif akan membuahkan pola pikir yang buruk. Hal inilah yang menjadi langkah awal pada setiap keputusan yang diambil manusia, baik atau buruk, berkualitas atau hampa, prestasi atau gagal.

            Potensi etika pikir pada guru, membuahkan pertimbangan matang untuk melahirkan apa saja hal yang harus dilakukannya, membuahkan hal apa saja yang harus dilisankannya, serta pola pikir siapa saja yang akan melihat perbuatannya. Hal ini sangat penting, karena dasar prinsip akan melahirkan keteladanan yang berasal dari diri seorang guru terhadap muridnya.
            Potensi etika pikir pada murid, membuahkan analisa tajam terhadap apa yang dipandangnya. Menghasilkan cara pandang dari pikir yang tajam, memiliki sudut pandang positif atau negatif. Objektifitas masa-masa muda sangatlah labil, terombang-ambing mencari arah untuk berlabuh. Sudut pandang itu memerlukan keteladanan, manusia yang paling dekat dengan murid adalah guru. Sosok guru adalah sosok yang setiap hari ia jumpai, bukan hanya pelajaran saja yang ia serap, melainkan sudut pandang pribadi untuk menumbuhkan sebuah prinsip pada diri seorang murid.
            Terbanglah pada dua puluh tahun silam, atau bahkan lebih pada garis usia kita. Tengoklah mana pelajaran SMP yang kita sukai, semua akan mengatakan, pelajaran yang disukai adalah: Matematika, Bahasa Inggris, Menggambar, atau lainnya. Pertanyaan berikutnya, mengapa suka?  Pelajarannya memang agak sulit tapi suka gurunya. Kenapa suka gurunya? Karena Bapak itu…atau Ibu itu…. Baik, ramah, murah senyum, sederhana, punya rumah bagus tapi kalau pergi sekolah selalu naik angkot, dan masih banyak hal lagi yang mampu menggambarkan betapa sudut pandang kita positif terhadap guru kita. Tetapi tak sedikit pula kita mengingat pelajaran yang tidak disukai, sebenarnya mudah namun gurunya galak atau killer, jadi karena sudah tidak senang dengan gurunya maka sulit menerima pelajaran dengan mudah. Bukankah kita pernah berpikir seperti itu?
            Sebuah prinsip hidup yang kita serap secara tidak langsung dari Bapak Ibu guru kita, mampu melekat pada pribadi-pribadi kita hingga sekarang. Dan kita sudah tidak ingat lagi pelajaran apa yang diajarkan guru kita saat itu, namun sikap dan karakter guru kitalah yang masih kita ingat sampai sekarang. Hanyalah prinsip yang menjadi warisan untuk kita dan anak didik kita. Melalui guru, keteladan itu tertular dengan sendirinya.
            Potensi etika lisan, tak jarang lisan mampu tajam melebihi pedang, mampu menyakiti dan membekas hingga waktu yang lama. Lisan guru adalah penyampai ilmu dari sekian tahun lebih dulu memahami pelajaran melalui mata kuliah di kampus. Dari lisan inilah ilmu terurai untuk membentuk karakter serta pembentukan keilmuan pada diri murid. Lisan yang lembut akan menghasilkan hati yang lembut, namun lisan yang kasar dan kotor akan membentuk hati yang keras.
            Potensi etika lisan pada sosok guru adalah kunci murid merasa dihargai. Jika etika lisan tidak dijalankan, guru akan terbiasa bersuara keras, kasar, dan terkesan galak. Perkataan semacam ini akan melukai perasaan murid sehingga mereka tidak mampu lagi menahan emosi, hal ini akan berdampak pada sikap mereka terhadap guru. Mulai dari lisanlah hubungan antara guru dengan murid akan terbangun dengan baik.
            Potensi etika lisan murid adalah salah satu parameter karakter terdidik. Murid yang mampu mengungkapkan keinginan dan perasaannya dengan kata-kata yang tertata baik dan dibarengi oleh tutur kata yang sopan, menandakan bahwa murid tersebut memiliki etika lisan dan penghormatan kepada orang lain dengan baik. Hal ini bisa dimiliki oleh seorang murid, salah satu faktornya karena murid memiliki teladan. Keteladanan itu bisa diperoleh dari orang tua, orang sekitar, dan guru.
            Maka perlu disadari bahwa murid menjadi baik bukan hanya karena guru saja, melainkan karena banyak faktor disekelilingnya, dan orang tua adalah sekolah pertama untuk menanamkan nilai-nilai baik pada sosok seorang anak. Mendidik murid melalui lisan bukan hanya sekedar mengajarkan kepada mereka sebuah etika lisan atau berbicara saja, namun juga sebuah proses belajar yang menumbuhkan kecerdasan sosial murid. Dengan memiliki kata yang cocok dan sesuai konteks situasi serta mampu melihat siapa lawan bicara, maka murid akan mengolahnya dalam otak dikepalanya, dan dia akan berani mengatakan sesuatu yang dirasa sesuai, dan orang lain tidak akan tersinggung dengan ucapannya.
            Mampu menempatkan diri pada situasi yang tepat dan dengan lawan bicara adalah sebuah cermin kecerdasan sosial. Etika lisan pada guru akan mampu mengantarkan  ilmu kepada murid melalui kata-kata santun dan sayang. Kata-kata yang tidak hanya lahir dari hasil olahan otak semata melainkan juga dari hati sang guru. Lisan yang mencerminkan kata santun dan sayang sudah sewajarnya diterima oleh murid yang pintar dan baik, dan sangat luar biasa jika kata-kata sayang banyak terurai untuk anak-anak yang terkesan nakal. Kata-kata ini merupakan wujud perhatian guru, yang penuh harapan agar murid-muridnya menjadi lebih baik. Semakin anak nakal, maka semakin banyaklah sayang dan cinta guru kepada muridnya. Namun satu hal, ketika guru berbicara dengan nada tinggi, hal itu bukan berarti kebencian atau rasa tidak suka kepada murid. Adakalanya murid memang harus diberi sebuah  pengingatan dengan sebuah rekayasa intonasi, agar menyadarkan mereka bahwa kehidupan mendatang lebih keras dari saat ini.
            Potensi etika laku, potensi ini adalah potensi hasil gabungan antara etika pikir dan etika lisan. Etika laku adalah hal yang terlihat dengan nyata, sebuah sikap yang lahir dari hasil olahan otak dan digabungkan dengan etika lisan yang telah difahami. Potensi etika laku seorang guru adalah hal yang nyata, yang selalu dilihat bahkan ditiru oleh murid. Mulai cara bicara, bahkan sampai berapa kali kata yang sama diulang dalam mengajar, murid pun akan menghitungnya. Cara berjalan, murid akan menirukan cara guru favoritnya berjalan juga guru yang tidak disukainya. Cara guru marah, pada suatu saat itu sekadar menjadi kelakar mereka atau bahkan sebuah contoh ekspresi marah dalam dirinya. Hal yang biasa dilakukan guru akan ditiru oleh murid dengan sendirinya. Etika laku murid sebanding dengan tingkah laku guru, semua saling berhubungan, tidak ada yang berdiri sendiri. Hal baik dalam diri guru sangat bagus untuk ditiru murid, hal ini menunjukkan betapa guru tersebut sangat mempengaruhi karakter murid. Namun tak jarang pula, etika guru yang kurang baik menjadi legalitas murid untuk berbuat tidak benar. Hal ini dikarenakan murid mampu membaca, menilai, dan memutuskan, walaupun belum matang dalam berfikir.
            Kesadaran akan posisinya dimata murid menjadikan sosok guru harus sentiasa menjaga tingkah lakunya, karena apapun yang akan dilakukannya sangat terlihat jelas oleh mata murid. Tingkah laku ini sebaiknya lahir dari karakter dasar, bukan hasil kepura-puraan. Tingkah laku yang lahir karena sebuah kesadaran dan pemahaman yang baik akan mudah menular pada orang disekitar, karena didasari dari ketulusan hati, namun berbeda jika tingkah laku lahir dari kepura-puraan, memang terlihat baik, namun suatu saat jika tidak terkendali akan menurunkan harga diri kita sendiri.
            Tiga hal di atas adalah hubungan timbal balik antara guru dan murid, keduanya memiliki kebermanfaatan dalam tiga hal tersebut. Murid dapat mendapatkan contoh prinsip dari guru, dan guru selalu memotivasi diri karena potensi dalam dirinya sentiasa dilihat dan ditiru oleh murid. Maka dari uraian di atas, semoga harapan Bangsa Indonesia untuk memiliki generasi-generasi yang berkarakter baik, potensial, dan generasi yang memiliki kecerdasan dapat segera terwujud dengan menyeluruh.Ditulis oleh: Charis Rachmawati, S.S